Artikel
Hari Pahlawan Bukan Sekedar Refleksi
Oleh: Ahmad Ikhwan Susilo
Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita
“kehilangan kemerdekaan diri sendiri”
(Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka)
Hampir
saban 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh.
Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan.
Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk
mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas
mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah
penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari
penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan
kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa
yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan
pernah sekalipun melupakan sejarah.
Sebagaimana
laiknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar
kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran
yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas
selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke
tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena
peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.
Lebih
dari itu, refleksi ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh
mana kita sebagai angkatan muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual
terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke
depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus
persaingan yang go global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.
Memang
secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat
secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang
kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo
ketika melawan Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan
beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita
alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita
dijajah secara sistem!
Tengoklah
berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan,
mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang
dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi
yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat
sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah
kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih dekat dengan
kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup
dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan
beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas
tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini
semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat
Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti
biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan
semakin mahal...
Hal
inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia
saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan
massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial,
sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.
Pengalaman-pengalaman
besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya
penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia
pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan
juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas.
Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya
mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan
bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas
kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau
penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan
bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin
jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual
terpelajar.
Pahlawan-Pahlawan Baru
Sebuah
keniscayaan memang apabila setiap jaman akan melahirkan anak jamannya
masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus dari
sejarah bangsa ini. Jika kita menilik ke belakang, dulu kaum terpelajar
yang memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan mempunyai satu
cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka dari belenggu
penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang
perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu
tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap
massa rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara
mengorganisasikan diri.
Tidak
hanya itu, mereka juga membuat terbitan-terbitan cetak dalam proses
transformasi nilai kepada massa rakyat. Perlawanan terhadap Belanda
memasuki babak baru. Tak sekedar dengan rencong dan keris, tetapi juga
dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah sebabnya Ben
Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities, menulis: Selain
runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan
kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang
memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca
khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.
Tugas
kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi
kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita
wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah
hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.
Namun,
kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan
pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu
adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah
berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat
pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Saat
negara nasibnya terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya
diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi, saat itulah maka gerakan
progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu kebutuhan mendesak.
Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai pengetahuan,
tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang
perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk
perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
Sumber : Ahmad Ikhwan Susilo
0 komentar:
Posting Komentar